Materi Karawitan


RANGKUMAN
BOTHEKAN KARAWITAN

ISTILAH KARAWITAN
Karawitan berasal dari kata rawit yang berarti kecil, halus atau rumit.dan dijawa sering juga menyebut bahwa, salah satu jenis bebunyian yang dianggap tua dan masih bertahan hidup dan berkembang sampai sekarang. Istilah karawitan nampaknya merupakan istilah yang paling baru dan sering juga digunakan untuk menyebut berbagai jenis musik lainnya yang memiliki sifat, karakter, konsep, cara kerja atau aturan yang mirip dengan musik karawitan (tradisi) jawa. Walaupun musik-musik itu bukan musik jawa dan bukan juga musik yang berkembang atau hidup dijawa, karawitan juga dapat mewadahi beberapa cabang seni yang memiliki karakter tertentu. Konon di lingkungan keraton surakarta pernah juga digunakan lambang. Yang dalam hal ini juga sebagai payung dari beberapa cabang kesenian (ukir, tatah, sungging, pedalangan, tari dan karawitan).
Pada tahun lima puluhan ketika pemerintah Republik Indonesia membuka pertama kalinya sebuah sekolah formal Kesenian tradisi yang setingkat SLTA(Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) di Surakarta dengan nama Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR). Adapun Sekolah sejenis yang didirikan di beberapa kota lainnya seperti:
·  di Padang (yang memberi penekanan pada seni budaya Minang)
·  di Bandung (yang memberi penekanan pada seni budaya Sunda)
·  di Surabaya (yang memberi penekanan pada seni budaya JawaTimuran)
·  di Banyamas (yang memberi penekanan pada seni budaya Banyumasan)
·  di Gowa (yang memberikan penekanan pada seni budaya Bugis, Gowa,    Makasar)
Maka dengan ini cakupan makna karawitan menjadi luas, yaitu meliputi seni-seni tradisi di Nusantara dan bukan saja terbatas pada kesenian yang  berasal, bernuansa atau berlatar belakang etnik dan kultural jawa. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi karawitan itu sendiri antara lain: usia, mutu, aturan.
Seiring dengan lajunya pertumbuhan dan perkembangan, karawitan yang tidak saja hidup dijawa tetapi juga hidup di berbagai penjuru Dunia yang begitu cepat dan meluas, maka makna karawitan menjadi semakin meluas juga. Bahkan festival gamelanpun di gelar.dan pertama kali diselenggarakan di Luar Negeri, tepatnya di Von couver, B.C.Canada pada tahun 1986. Dengan demikian maka,  pencitraan dan pemaknaan karawitan secara umum telah berkembang dan di perluas melingkupa genre musik “Baru” tradisi atau modern yang merujuk pada karakteristik atau nilai budaya (jawa) yang menggunakan kebiasaan kerja secara oral atau lisan dengan di landasi oleh semangat kebersamaan dan kekeluargaan serta mengtamakan pendekatan dan ungkapan rasa lebih dari pada nalar atau pikir.
Sedangkan pengertian karawitan yang lebih sempit atau khusus dan konvensional oleh kalangan tertentu adalah menyebut suatu jenis suara atau musik yang mengandung salah satu atau dua unsur sebagaiberikut:
- Menggunakan alat musik gamelan sebagaian atau seluruhnya baik berlaras   slendro atau pelog.
- Menggunakan laras (tangga nada) slendro dan pelog baik instrument gamelan atau non gamelan (vokal).

A. Karawitan dan Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat ricikan yang sebagian besar terdiri dari alat musik pukul atau perkusi yang di buat dari bahan utamanya logam (perunggu, kuningan, besi, dll) dan dilengkapi dengan ricikan yang terbuat dari bahan kayu atau kulit. Biasanya dalam masyarakat jawa gamelan bisa disebut nggamel yang berarti memukul, walau pada kenyataannya perangkat gamelan juga melibatkan alat-alat non perkusi (alat gesek ,tiup, petik, dll). DiLihat dari komposisi alat musik yang digunakan dapat di golongkan dalam tiga kelompok antara lain:
- Kelompok mayoritas bambu
- Kelompok mayoritas selaput kulit
- Kelompok mayoritas ricikan gamelan.
Ricikan gamelan yang sebagian besar terdiri dari alat musik perkusi, ini secara fisik di bedakan menjadi dua kelompok antara lain:
- Kelompok wilah(bilah)
- Kelompok ricikan pencon.
Selain dari kelompok di atas masih terdapat lagi sepasang ricikan yang disebut Kemanak, adalah ricikan pukul dari bahan perunggu yang ukuran dan bentuknya mirip seperti buah pisang yang retak di salah satu sisinya dan di kosongkan isinya dan biasanya dimainkan pada perangkat karawitan yang bagian vokalnya dominan dan masih banyak lagi yang lainnya.

B. Perangkat Gamelan
Di dalam perangkat gamelan terdapat berbagai jenis perangkat gamelan yang di bedakan menurut jenis,jumlah dan fungsinya di masyarakat yang sejak dulu dan sampai sekarang masih dilestarikan antara lain:

1.      Gamelan Kodhok Ngorek
Gamelan ini hanya dimiliki oleh kalangan keraton dan masyarakat umum tidak dibenarkan memiliki perangkat gamelan sejenis gamelan ini biasanya digunakan untuk:
- Hajatan atau peristiwa perningkahan(temu penganten)
- Upacara(grebeg puasa,bakda,mulud)
- Tanda atau berita tentang adannya kelahiran bayi perempuan
Berikut ini komposisi gamelan Kodhok Ngorek:
-          Sepasang kendang alit dan kendang ageng
-          Satu atau dua rancak bonang yang terdiri dari delapan pencon
-          Satu rancak rijal yang terdiri dari delapan pencon
-          Dua buah gong
-          Sepasang penontong
-          Sepasang rojeh
-          Sepasang kenong
-          Serancak kecer
-          Serancak gender barung
-          Serancak gambang gangsa.
Repertaur gending yang biasanya digunakan dalam perangkat gamelan ini ,yaitu Dhendha santi, pedaringan kebak dan Dhendha gedhe. Kebanyakan orang menyebut bahwa gamelan kodhok ngorek adalah gamelan dua nada dan berlaras pelok. Adapun lagu pokok kodhok ngorek yang terdapat pada gamelan ageng adalah sebagai berikut:
            7.76 7.76 7.76 7.76 untuk gamelan tumbuk nem
            6.65 6.65 6.65 6.65 untuk gamelan tumbuk lima
Gendhing ini disajikan dari irama seseg (cepat),kemudian tamban atau dados (lambat) kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai)

2.      Gamelan Monggang
Gamelan ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari gamelan kodhok ngorek, walau dari segi umur gamelan ini lebih muda.kedudukan ini dicapai karena fungsi dan perannya yang lebih banyak dan lebih penting (tinggi). Fungsi perangkat gamelan ini antara lain:
-Memberi tanda pada berbagai upacara(penobatan,jumenengan raja)
-Mengiringi gunungan pada berbagai upacara grebeg
-Menengarai berbagai peristiwa penting
-Mengiringi adon-adon (aduan,sabungan)
-Mengiringi latihan perang
-Menengarai bayi laki-laki dari keluarga raja
-Menengrai kemangkatan(meninggalnya raja)
Gamelan Monggang memiliki komposisi ricikan sebagai berikut:
-Serancak bonang yang terdiri dari empat bagian
-Satu atau lebih rancak bonang.berisi enam pencon yang terdiri tiga nada
-Tiga rancak kecer
-Satu gayor penonthong terdiri dari dua pencon yang larasnya berbeda
-Sepasang kendang
-Sepasang gong ageng
-Sepasang  rancak kenong (japan)
Gamelan monggang juga disebut dengan gamelan patigan, artinya gamelan yang memiliki tiga nada pokok. Gamelan ini juga berlaras pelok dan slendro, adapun pola tabuhannya sebagai berikut:
1615 / 3231 / 2726
Nada pertama adalah dua nada diatas seleh
Nada kedua adalah satu nada diatas seleh
Nada ketiga adalah nada seleh
 Gendhing ini disajikan dari irama seseg (cepat), kemudian tamban atau dados (lambat) kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai).

3.      Gamelan Carabalen
Gamelan Carabalen adalah gamelan dari jenis pakumartan, yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat atau lembaga diluar keraton. Gamelan ini memiliki fungsi yang pasti, yaitu untuk menghormati kedatang para tamu. Gamelan ini memiliki komposisi ricikan sebagai berikut:
-          Sepasang kendang (lanang dan wadon)
-          Satu rancak gambyong (terdiri dari empat pencon bonang)
-          Satu rancak bonang yang berfungsi sebagai klenang dan kenut
-          Sebuah penontong
-          Sebuah kenong (japan)
-          Sebuah kempul dan gang dalam satu gayor
Gamelan ini memiliki empat nada pokok dan memiliki lebih dari satu gendhing pada repertaurnya.gendhing-gendhing tersebut antara lain:
-          Lancaran Gangsaran
-          Lancaran Klumpuk
-          Lancaran Glagah Kanginan
-          Lancaran Bali-Balen
-          Ketawang Pisang Bali
-          Ladrang Babad Kenceng


4.      Gamelan Sekaten
Gamelan ini dianggap paling terkait dengan upacara islam (sebagai syiar agama islam) dan gamelan ini ditabuh atau dibunyikan pada pekan sekatenan atau grebeg mulud pada setiap bulan kelahira Nabi Muhamad S.A.W. Serta pada setiap acara grebeg-grebeg yang lain. Keraton Surakarta memiliki dua perangkat gamelan sekaten (Gamelan Sekaten Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu) dan kedua gamelan ini berlaras pelok. Gamelan ini sengaja dibuat dengan ukuran yang besar supaya berbeda dengan gamelan yang lain.
Berikut ini adalah komposisi  ricikan yang dapat dilihat dan digunakan pada kedua perangkat gamelan sekaten yang terdapat pada Keraton Surakarta. Masing-masing adalah:
-          Satu rancak bonang (penembung)
-          Dua rancak saron demung
-          Dua rancak saron barung
-          Dua rancak saron penerus
-          Satu rancak kempyang(berisi dua pencon)
-          Sebuah bedhug
-          Sepasang atau dua buah gong besar
Semua perangkat gamelan ini dibuat dari bahan perunggu dan larasan gamelannya yang kebanyakan tidak berada pada wilayah jangkauan atau ambitus suara normal maka dengan itu tidak melibatkan vokal dalam penyajiannya. Gendhing yang biasa disajikan antara lain:
-          Ladrang Rambu dan Rangkung laras pelok patet lima
-          Ladrang Barang Miring laras pelok patet barang
Konon gamelan ini berasal dari satu perangkat gamelan yang sama, yang dulunya terdapat dan digunakan pada pekan sekaten di Demak. Kemudian tradisi ini dilanjutkan di Mataram (Surakarta dan Yogyakarta). gamelan ini biasanya ditempatkan di depan halaman Masjid Agung, yang masing-masing gamelan mempunyai tempat sendiri-sendiri (bangsal), kemudin disebut bangsal Pagongan.

5. Gamelan Ageng
Perangkat gamelan standar (lengkap jenis ricikannya) dengan berbagai jenis kombinasi dan di dalam kehidupan sehari-hari hampir selalu di gunakan untuk berbagai keperluan, dari ritual masyarakat yang paling profan dan untuk hiburan (komersial). Dari perangkat gamelan ini dapat di bentuk perangkat gamelan lainnya dengan komposisi, nama dan kegunaan yang bervariasi. Diantarannya: perangkat klenengan, wayangan, gadhon, cokekan, siteran dan sebagainya serta di dalam perangkat gamelan ini juga terdapat gamelan Super. Gamelan ini adalah salah satu bentuk pengembangan ukuran, jenis, dan jumlah dari unsur, terutama ricikan perangkat gamelan ageng {bila gamelan ageng cukup memiliki dua buah saron barung , satu saron penerus dan satu demung tetapi kalau  pada perangkat gamelan super memiliki dua kalinya gamelan ageng (balungan) jumlah tersebut masih di kembangkan dengan di tambahnya beberapa kempul, kenong, gong, dan sebagainya pada masing-masing  laras (slendro dan pelok) yang jumlahnya relatif dan menurut selera sipemesan gamelan.
Perkembangan dan pengembangan perangkat gamelan menjadi semakin meningkat dan beragam baik kualitas maupun kuantitasnya. Seperti instrument dan permainan musik dari luar dunia gamelan (terompet, drum set, keyboard, dan lain-lain). Setuju atau tidak adalah wacana yang sekarang ini sangat akrab di telinga kita serta sering dan masih saja di perdebatkan oleh banyak kalangan yang menaruh perhatian terhadap dunia musik gamelan. Pengelompokan ricikan pada perangkat gamelan ageng tergantung dari alasan, cara pandang, kebutuhan, maksud dan tujuan dari yang mengelompokan.diantaranya Sach mengelompokan ricikan menurut sumber bunyi dan para pande gamelan mengelompokan ricikan berdasarkan bentuk. Hal ini nampaknya tidak menghiraukan adanya ricikan lainnya.
Para tokoh di KOKAR Surakarta pada tahun lima puluhan mengelompokan ricikan gamelan menurut konsep musikal yang mendasar dan yang paling penting adalah lagu dan irama sedangkan para pengrawit sendiri mengelompokan ricikan gamelan menjadi dua atau tiga kelompok (ngjeng, tengah, wingking). Ricikan-ricikan gamelan menurut tinjauan garap dapat di kelompokan menjadi tiga kelompok ;
-          Ricikan balungan: Ricikan yang dalam permainannya sangat mendasarkan pada balungan gendhing (slentem, demung, saron, dan bonang penembung)
-          Ricikan garap: Ricikan yang menggarap gendhing (rebab, gender, bonang , gambang , siter, suling, vokal)
-          Ricikan Struktural : Ricikan yang permainannya di tentukan oleh bentuk gendhing (kethuk, kenong, kempul, gong, kemanak, kecer)
Pengaturan penempatan ricikan gamelan tergantung dari fungsi keperluan dan tujuan serta tempat dan tersedianya ricikan maupun pengrawit. Kapan dan untuk keperluan apa seperangkat gamelan digunakan,pada dasarnya dibagi menjadi dua fungsi yaitu mandiri dan digunakan untuk membantu keperluan lain (tari, wayang, teater dan lain-lain) dalam hubungan ini ricikan gamelan dapat di kelompokan menurut: status, pasangan, warna suara, volume dan fungsi.

LARAS

Laras slendro dan pelog adalah salah satu dari dua unsur utama yang mencirikan karawitan. Memang bagi kebanyakan orang terutama masyarakat awam, juga dengan pertimbangan bahwa musik adalah suatu cabang seni yang menggunakan suara atau bunyi sebagai medium pokok ekspresinya, dengan demikian orang lebih mudah untuk mengenali musik lewat mendengar suara, secara langsung atau lewat rekaman atau lewat medai broadcasting (siaran radio/televisi/ internet), dengan atau tanpa harus meihat secara langsung sumber bunyinya, baik suara alat musik atau suara manusia. Dari berbagai unsur yang dimiliki oleh suara/ bunyi, nampaknya lewat laras (tangga nada , scale) sebagian besar orang paling mudah untuk mengidentifikasi suatu suatu jenis atau genre musik dari suatu bangsa atau daerah tertentu, jauh lebih gampang daripada lewat kualita musik (warna bunyi alat musik), komposisi musikal, bentuk, ritme atau pola permainan musikal  dari suatu jenis musik tertentu.
Laras dalam dunia karawitan dapat bermakna jamak. Setidaknya ada tiga makna penting yaitu:
1.      Pertama bermakna sesuatu yang (bersifat) “enak atau nikmat untuk didengar dan dihayati.”
2.      Makna yang kedua adalah nada, yaitu suara-suara yang telah ditentukan jumlah frekuansinya (penunggul, gulu, dhodho, pelog, lima, nem, dan barang ).
3.      Makna ke tiga laras adalah tangga nada atau scale/ game , yaitu susunan nada -nada yang jumlah, urutanya dan pola interval nada-nadanya telah ditentukan.
Seperti yang diketahui dalam karawitan digunakan dua laras utama yaitu:
a.      Slendro    
      Sistem urutan nada-nada yang terdiri dari lima nada dalam satu gembyang dengan pola jarak yang hampir sama rata.
            Sedangkan laras ( nada-nada ) yang digunakan dalam laras slendro adalah:
1.      Penunggul, atau sering juga disebut barang, diberi simbol 1(angka arab satu), dan dibaca siji atau ji.
2.      Gulu, atau jangga (kromo jw.), diberi simbol 2 (angka arab dua), dibaca loro atau disingkat ro
3.      Dhodho, atau jaja atau tengah, diberi simbol 3 (angka arab tiga), dan dibaca telu atau dibaca singkat lu.
4.      Lima, diberi simbol 5 (angka arab lima ), dibaca lima , atau mo sebagai bacaan singkatnya.
5.      Nem, diberisimbol 6 (angka arab enam), dibaca nem.
            Selain lima nada pokok tersebut juga sering disebut beberapa nama laras atau nada , seperti:
1.      Barang, yaitu nada gembyangan dari penungggul, diberi simbol 1(angka arab satu dengan titik diatas angka), dibaca ji atau siji.
2.      Manis, yaitu nada gembyangan gulu, diberi simbol angka 2 ( angka arab dua dengan titik diatas). Manis hanya digunakan untuk laras kenong dan kempul.



b.      Pelog.
Sistem urutan nada-nada yang terdiri dari lima nada (atau tujuh) nada dalam satu gembyang dengan menggunakan satu pola jarak nada yang tidak sama rat, yaitu tiga (atau lima) jarak dekat dan dua jauh.
Banyak (etno ) musikolog mengelompokan karawitan (musik) gamelan (Jawa, Sunda, Bali dan beberapa perangkat musik yang masuk keluarga gong chimes di asia tenggara)berlaras pentatonis, bersistem lima nada. Deikian juga laras pelog dimasukan dalam musik yang berlima nada.memang gamelan pelog memiliki tujuh nada. Namun pada hakikatnya menurut mereka pelog hanya menggunakan lima dari antar tujuh laras yang terdapat pada gamelan pelog. Petunjuk yang membenarkan / mendukung pernyaraan tersebut adalah terdapatnya beberapa ricaikan gamelan pelog pada perangkat gamelan Jawa yang hanya menggunakan lima nada, seperti contoh : gender barung, geder penerus, gambang, celempung, dan siter.
Namun apabila kita melihat repertoar gendhing Jawa (tradisi, klasik, setidaknya seperti tercantum dalam buku gendhing Mloyo Widodo jilid I dan jilid III. Menunjukan   bahwa hampir seluruh (80%)   gendhng dalam laras pelog menggunakan keseluruhan tuju nada pelog (Mloyo Widodo, 1976). Dalam penyajianya, memang sering terdapat beberapa gendhing yang disajikan dalam laras pelog dengan hanya menggunakan lima nada saja, terutama dalam kasus penyajian gendhing pelog sebagai hasil alih laras slendro, yaitu gendhing yang biasanya atau “aslinya” disajikan dalam laras slendro, kemudian disajikan dalam dalam laras pelog.  Suatu hal yang biasa dalam karawitan Jawa bahwa suatu gendhing dapat dan boleh disajikan dalam dua laras yang berbeda.
Laras yang behubungan dengan rasa nikmat, nyamleng,  masih merupakan tuntutan estetik yang di berlakukan atau dibutuhkan dalam suatu penyajian dan/atau penghayatan karawitan .seimbang (selaras) dan nikmat (yang dilawankan dengan sesuatu yang menimbulkan berbagai persoalan atau permasalahan yang tidak enak, chaos) adalah pilihan estetik yang terpenting dalam penyajian karawitan.  Nyamleng (enak dari nilai suara) mat-matan (nikmat dari segi ruang dan waktu), rampak (kebersamaan dan kesamarataan serta keselarasan dalam hal kecepatan dan atau irama ) rempeg (kemerataan dalam volume atau dinamik), alus (halus), adalah nilai estetis pilihan – sampai beberapa dekade yang lalu – yang di angggap baik dan dering dilawankan dengan kasar (menggunakan pola atau wiledan rongeh ), keras, nyengklek (perubahan dinamika dan / atau iramaatau tempo yang mendadak ), groboh, dan sebagainya.
Peranan ricikan-ricikan yang bersuara lambut jugasemakin berkurang. kopoonis kmponisbaru karawitan semakin menonjolkan garapan ricikan pada balungan, bonang, dan vokal (koor), plus ricikan-ricikan tambahan yang “diimpor” dari dunia musik lain, termasuk alat-alat musik yang diaplikasi. Knsep laras (nikmat) yang baru jelas bergeser, bahkan bahkan berbeda dengan konsep laras yang berlaku pada masa lalu. Karakter gamelan dalam kaitanya denga laras ditentukan oleh :
1.      larasan (register) daerah atau embitus suara atau cakupan frekunsi nada-nadayang digunakan dalam perangkat yang bersangkutan.
2.      jangkah. Istilah yang sering digunakan digunakan dalam karawitan untuk menyebut interval, yaitu jarak nada yang satu kejarak yang berikut atau lainya yang biasanya dapat diukur dengan menggunakan satuan cent. Variasi jangkah (interval ) namun masih dalam konteks pola jangkah yang sama dalam pelarasan gamelan Jawa, oleh masyarakat karawitan disebut dengan embat.

Menurut R.L. Martopangrawit menyebut embat sebagi pergeseran nada-nada, mungkin agak sulit untuk ditangkap pemaknaanya. Menurut Rahayu Supanggah embat merupakan varian dari pola jangkah (intrval) dalam laras dan atau larasan gamelan. Para teoritis karawitan pernah menyebutkan adanya dua embat dalam sistem pelarasan gamelan Jawa ( gaya Surakarta), mereka adalah embat : Sundari dan Larasati. Beberapa pengrawit menyebutkan  bahwa pengidentifikasian embat gamelan ditandai oleh lebarnya jangkah antara  nada penunggul atau barang ke nada gulu ( nada berikutnya atau urutanya ke arah yang lebih tinggi).
Pentingnya arti laras atau tangga nada suatu masyarakat, badaya atau musik tertentu (termasuk Jawa) dapat pula dilihat dari tingkat konsistensi atau eksistensi suatu laras (slendro dan / atau pelog ) dalam musik karawitan), budaya atau masyarakat tersebut.
Pada dasa warsa terakhir ini memang muncul fenomena baru yaitu munculnya campursari yang notabene percampuran berbagai unsur, genre musik; karawitan/ gamelan dan langgam, keroncong, ndangdut, pop, dan sebagainya dalam satu bentuk musik baru. Salah satu gejala yang mungkin perlu mendapat perhatian dan kajian – lepas dari setuju atau tidak baik dan atau tidak adalah percampuran laras slendro dan / atau pelog dengan tangga nada diatonis yang ujungnya dan berakibat pada semakin banyaknya ricikan gamelan yang diubah larasnya, dari slendro dan/ atau pelog menjadi diatonis, mengikuti tempered scale yang terbakukan dalam intrumen keyboard, dan / atau bas gitar. Sekarang ini juga sudah sangat biasa bahwa generasi muda atau anak-anak sudah sulit untuk melantunka lagu atau tembang dalam slendro. Hastanto juga pernah meyinggung masalah tersebut dengan menyebut slendro in dhanger.

A.    Miring

Disamping  laras slendro dan laras pelog , dalam karawitan juga dikenal “laras”miring atau barang miring. Sesuai dengan namanya yaitu barang miring , dapat dnduga laras tersebut memiringkan laras” barang “nya. Namun bila kita melihat lebih dekat terhadap beberapa lagu atau garapan dalam barang miring, nampak nya persoalan barang miring sesedehana itu, yaitu hanya memiringkan laras barang.ada beberapa macam jenis barang miring didalam garapan karawitan  miring yang paling banyak digunakan pada garap minir ( minur, minor ? ) dalam ricikan rebab dan/ atau vokal ( sindhen dan gerong )yang banyak digunakan pada gendhing-gendhing tlutur atau pada garap musikal yang diharapkan dapat menimbulkan rasa sedih, atau bahkan juga sebaliknya, digunakan dalam gendhing lucu atau nglece.miring adalah laras pelog yang dimasukan kedalam laras slendro dengan menggunakan nada seleh sebagai tumpuanya.
Ki Martopangrawit pernah menyebutkan bahwa barang dalam karawitan Jawa ada dua macam, yaitu yang mirip dengan dengung dan satunya lagi mirip dengan madenda,

B.     Titi laras

Titi laras adalah istilah yang digunakan di lingkungan karawitan untuk  menyebut notasi, yaitu lambang yang mewakili tinggi dan harga laras (nada).Titi laras yang masih digunakan sampai saat ini yaitu titi laras kepatihan, notasi yang di- “ciptakan”pada tahun  20-an di kepatihan Surakarta. Notasi yang mengadopsi notasi angka cheve, yaitu menggunakan angka 1 sampai dengan 7. Wilayah gembyang ditandai dengan penempatan titik diatas atau dibawah nada.Titik dibawah nada menunjukan bahwa  laras tersebut berada pada gemyang  paling bawah. Seperti diketahui bahwa di lingkungan karawitan telah pernah menggunakan beberapa jeni titi laras antara lain titi laras Andha (tangga) yang berupa garis-garis sejajar tegak (vertikal) yang merepresentasikan bilah- bilah saran atau balungan. Notasi lain adalah notasi Rante, notasi notasi yang dianggap paling tua yang pernah digunakan di lingkungan karawitan. Marc Perlman menberi ciri notasi rante sebagai berikut:
1.      Adanya garis para nada dengan enam garis horizontal;
2.      Penggunaan garis-garis bawah untuk menandai nada-nada redah, dan garis –garis atas untuk nada-nada tunggi; dan
3.      Adanya garis-garis lurus yang menyambungkan biji-biji not (garis lengkung, garis lurus maupun putus-putus), sehingga tulisan notasi seakan-akan menggambarkan sebuah rantai (maka dinamakan “ notasi rantai”). Perlman, 1991:37.
Titi laras ini  mirip dengan notasi balok, yaitu garis-garis sejajar horizontal dengan perbedaan tidak mnggunakan bagian sela (hanya menggunakan garis-garis saja) sebai tenpat nada. Notasi rantai diciptakan oleh demang  Karini pada sekitar tahun 1870 (?), pegawai istana mangkunegaran, demang musik pada jaman  Mangkunegara IV.selain notasi Andha dan Rantai, dikalangan karaitan juga pernah diperkenalkan titi laras  sariswara. Pertma kali diperkenalka di lingkungan perguruan taman siswa Yogya karta terutama untuk pendidikan bahasa, sejarah, dan budi pekerti. Titi laras ini memang sangat memudahkan siswa untuk belajar vokal, karena tidak mengikuti sistem absolut pitch, yaitu yang harus mencocokan laras dan vokal  dengan larasan gamelan atau ricikan tertentu yang telah dnatur atau diset pada frekuensi tertentu.
Raden machnyar Angga Koesoemadinata juga memperkenalkan notasi untuk karawitan sunda yang disebut dengan titi laras Daminatila, yang sampai sekarang masih digunakan di lingkungan (pendidikan) karawitan Sunda. Titilaras daminatila juga menggunakan simbol angka 1 sampai dengan 5 untuk slendro dan madenda, serta 1 sampai dengan 7 untuk pelog. Angka kecil untuk mewakili nada tinggi dan angka besar mewakili nada rendah.
Karawitan Bali menggunakan titi laras Dhong-dhing, yang pada dasarnya juga tidak mengakui sistem laras absolut. Nada –nada titi laras dhong-dhing adalah dhong, dheng, dhung, dhang, dan dhing. Dengan menggunakan simbol sandhangan alfabet Bali.
Dalam laras (saih pitu), baru saja disebut, juga meliatkan dua nada tambahan, masing-masing dheung-, antara dheng dan dhung (seperti nada pelog pada titilaras  Kepatihan) serta dhaing, antara nada dhang dengan dhing (seperti barang dalam sistem kepatihan).
Titi laras notasi adalah fenomena yang relatif baru. Dalam dunia karawitan. Karawitan pada awalnya termasuk pada golongan musik tradisi lisan, dimana cara menyajikandan penularanya (cara tranmisi ,tranfer of knowladge dan tranfer of ablity) dilakukan secara lisan atau oral. Notasi karawitan baru lahir pada awal abad  ke-20 dan penggunaanya terbatas sebagai alat pengingat atau alat pencatat yang sangat sederhana.masalah suatu jenis notasi,  terutama untuk karawitan, sebenarnya bukan terletak semata-mata pada kemampuan atau keakuratan atau kepraktisan atau kemudahan pengaplikasian suatu jenis notasi karawitan, apapun jenisnya atau dari mana asalnya.
Gendhing dinotasikan dalam bentuk balungan gendhing, ssedangkan permainan atau garapricikan-ricikan dinotasikan dalam bentuk pola atau formula. Pola lagu maupun pula ritme. Notasi dari pola pola permainan ricikan tersebut ,yang disebut dengan istilah yang berbeda-beda:sekaran ataukembangan, pola, cengkok, teknik, dan sebagainya. Notasi dianggap sebagai salah satu produk budaya modern dari sebuah lembaga (ilmiah) yang mendapat dukungan atau legitimasi dari pemerintah yang “harus” ditiru, diikuti oleh masryarakat. Lewat produksi tulis yang pada dasarnya memiliki sifat kepraktisan dan keabadian yang lebih tinggi daripada tradisi lisan.merupakan


IRAMA
Unsur musikal penting lainya di dalam karawitan Jawa di samping laras adalah irama atau wirama. Seperti laras, irama juga memiliki makna ganda. Selain kata benda juga kata sifat. Alangkah cacatnya ketiks seorang penabuhatau sebuah tabuhan – yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang – dinilai oleh pendengar atau seniornya sebagai ora irama, tidak (ber) irama,  tidak teratur. Dalam konteks pembicaraan tersebut , irama adalah kata sifat yang memiliki kandhungan makna estetik yang kira0kira mirip dengan (kata sifat) laras, yaitu harmonis selaras , tertata ,teratur.
Dalam penyajian karawitan dikenal dua istilah estetik yang mirip,yaitu “ rampak” dan “rempeg”.pampag\k adalah salah satu tuntunan estetis yang erat hubunganya dengan rasa kebersamaan dalam bermain bersama yang terkait dengan unsur kecepatan dan waktu. Sedangkan rempeg menyangkut rasa kebersamaan dalam bermain bersama yang berhubungan dengan unsur volume, ruang atau dinamik. Irama menyangkut kedua-duanya; konsep yang menyangkut ruang dan sekaligus waktu.
A. Ruang
Menurut Martopengrawit irama adalah pelebaran dan penyepitan gatra. Gatra itu sendiri adalah satuan atau uit yang merupakan bagian dari gendhing, terdiri dari empat sabetan balungan. Ada lima atau empat jenis tingkatan irama dalam karawitan jawa, yaitu: gropak, lancar, tanggung, dados, wiled, dan rangkep.irama tanggung juga disebut dengan irama siji (setunggal, satu). Irama dados dengan irama loro (kalih, dua)dan irama wiled dengan nama irama telu (tiga)..sedangkan untuk irama lancar dan rangkep tetap tidak menggunakan namalain; seperti misalnya irama setengah(separo, sepalih). Atau irama nol (?)untuk irama lancar dan/ atau irama papat (sekawan, papat) untuk rangkep.
B. Waktu
Dunia karawitan Jawa Tengah sering mengidentifikasi kan waktu perjalanan---atau   yang dikalangan musik pada umunya disebut tempo --- gendhing, balungan, atau lagu menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Tamban, atau sering disebut dengan alon, (kadang-kadang digunakan) langsam (dari bahasa belanda, digunakan didaerah klaten dan/ atau yogyakarta), lentreh untuk tempo lambat;  
b. Sedheng, untuk tempo sedang; dan
c.  Seseg atau cepat (juga jarang di gunakan),untuk tempo cepat.Para pemikir karawitan juga pernah memperkenalkan istilah laya yang dipinjamkan dari teminologi musik India untuk menyebut aspek irama yang berhubungan dengan unsur waktu.tetapi aspek tersebut tidak begitu berkembang di kalangan para pengrawit diantaranya:
-Wilambita laya untuk irama tamban
-Madya laya untuk irama sedang
-Druta laya untuk irama cepat
Irama dalam konteks ruang ,walaupun bersifat imajiner,memiliki makna yang pasti.sedangkan irama dalam konteks waktu (laya) aplikasinya lebih relatif,lokal,bahkan kadang-kadang bisa subyektif.dalam praktek karawitan,yang mengendalikan irama adalah seorang pengendhang dan irama gendhing menentukan cengkok.setiap ada pergantian irama tentu ada pergantian cengkok(gender,rebab,bonang,gambang,siter,dan semua ricikan garap)
C. Kepemimpinan
Irama adalah napas gendhing,irama juga yang menjadikan sebuah gendhing atau lagu menjadi hidup.sedangkan di sisi lain,kendhang sebagai pamurba irama,dalam memimpin rekan-rekannya.sebagai pemimpin ia juga harus memberi contoh diantarannya seberapa keras(volume)dan seberapa rumit pola garap tabuhannya dan seberapa cepat irama yang di pilih. kendhang bertanggung jawab atas kerampakan dan kerempegan tabuhan. Konsep rampag dan rempeg bukan sekedar rata ada dinamik.
Rampak-rempeg adalah sebuah konsep yang berurusan dengan bekerja sama dan kebersamaan,namun bukan kasamaan. Karawitan dalam menabuh bersama menganut garis horisontal.semua pengrawit menuju pada tujuan tertentu: seleh atau gong dengan tidak begitu menghiraukan garis vertikal,di mana ricikan harus bersama dengan mengcu pada harmoni tertentu. Hal ter sebut sangat berbeda  dengan konsep musik Barat dan musik Bali.dan di dalam karawitan juga tidak begitu mengenal konsep ritme,walau pada kenyataannya di dalam tabuhan bersama atau mandiri,setip ricikan menggunakan ritme yang cukup kompeks,sejajar,tidak sejajar dan dapat dikatakan tidak setabil.Ritme adalah bagian dari lagu;artinya lagu terbentuk karena ada nada dan ritme.
D. Keteg
Irama adalah nafas karawitan. Digunakan sebagai satuan yang digunakan sebagai alat identifikasi tingkatan irama yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam dunia karawitan. sejak lama dalam dunia karawitan dikenal istilah keteg atau ketegan kendhang. Sebelum memulai gendhing,penabuh kendhang sering membuyikan ketegan, yaitu tabuhan lirih dengan sentuhan jari pada bagian tengah tebokan besar kendhang ageng atau ketipung atau kendhang apa saja.keteg( ketegan kendhang) adalah semacam tanda atau kode dari pengendhang yang bermakna mengajak kepada semua pengrawit yang lain supaya bersiap diri untuk memulai penyajian sebuah gendhing. Ketika gendhing sudah berjalan,ketegan kendhang kadang-kadang masih perlu,terutama ketika irama gendhing belum berjalan stabil.
Keteg dapat di gunakan atau merupakan acuan untuk penentuan irama dan laya gendhing atau karawitan. hal itu sejajar drngan pengertian keteg dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki makna hidup ada kehidupan . keteg adalah pulsa atau denyut nadi/jantung manusia . ketika masih ada keteg, di situlah seorang manusia masih hidup. Keteg dapat memacu krenteg, dorongan batin atau hasrat untuk berbuat sesuatu, hasrat untuk kretif.
GAYA
Yang dimaksud dengan gaya disini adalah kekhasan atau kekushusan yang ditandai oleh cirri fisik, estetik ( musical ), dan/ atau system bekerrja ( garap ) yang dimiliki oleh atau yang berlaku pada ( atau atas dasar inisiatif /dan atau kreatifittas ) perorangan  ( pengrawit), kelompok ( masyarakat seni ), atau kawasan ( budaya ) tertentu yang diakui eksistensinya dan/ atau berpotensi untuk mempengaruhi individu, kelompok ( masyarakat ) atau kawasan ( budaya, musik, kesenian ) lainya, baik itu terberlakukan dengan sengaja atau tidak, maupun yang terjadi atas hasil dari berbagai cara dan/ atau bantuan dari saarana dan/ atau media. Berbicaara tentang gaya karawitan (juga gaya seni tradisi Jawa pada umumnya ) sejak lama dan juga masih berlaku sampai sekarang ini orang secara langsung menyebut dua gaya gaya karawitan utama, yaitugaya surakarta (atau sala) dan gaaaya Yokya karta ( Yogya atau mataram ). Kesenian keraton ini kemudian dianggap dan diangkat sebagai gaya kesenian Jaawa baku dan standar yang sampai sekarang masih digunakan sebagai rujukan masyarakat seni ddan juga sebagai materi ajar yang utama  di lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia maupun diberbagai lembaga dan perkumpulan- peerkumpulan kesenian / karawitan di berbagai pelosok penjuru dunia.
Satu hal yang mungkin perlu kita catat bahwa kesenian luar keraton juga memiliki kekuatan yang berbeda dan boleh tidak kalah dengan yang di keraton. Keduanya memiliki warna, kekuatan, dan karakter yang berbeda dan antar mereka saling melengkapi.kenyataan bahwa banyak seniman keraton banyak yang direkrut dari desa.
Berikut ini adalah beberapa gaya karawitan yang hidup di Jawa Tengah, yang mana gaya tersebut telah terbiasa disebut oleh pihak, terutama kalangan karawitan gaya Jawa Tengah:
  1. Gaya Surakarta atau gaya solo. Gaya karawitan yang bersumber pada gaya karaawitan keraton ( istana ) Surakarta. Seperti yang kita ketahui bahwa diSurakarta sendiri setidak tidaknya terdapat dua istana, yaitu Kasunanan (selatan) dan Mangkunegaran (utara), yang masing-masing mengembangkan gaya dan sekaligus juga menjadi pusat kegiatan budaya.
  2. Kesenian di Mangkunegaran, didasari oleh semangat ingin memperoleh kekhasan kesenian pada masing-masing istana- bahkan sampai pada  setiap rumah kepangeranan diupayakan untuk dapat tampil khusus. Di mangkunegaran justru berkembang gaya kesenian ( khususnya tari ) yang mirip gaya istana Yogyakarta.
  3. Gaya Yogyakarta (Ngayogyakarta) atau gaya Mataram(an). Gaya Yogyakarta relatif hanya berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama dilingkungan keraton Yogyakarta. Sedangkan kerawitan gaya Surakarta tersbar hingga sampai ke seluruh Jawa, merembet ke luar Jawa, Indonesia maupaun di luar negeri.
  4. Gaya istana  di Surakarta harus terbagi menjadi dua; Kasunanan dan Mangkunegaran, gaya kesenian di Yogyakarta juga terbagi menjadi dua : Kasultanan dan Paku Alaman.
  5. Di luar ke empat istana tersebut juga hidup dan berkenbang gaya karawitan yang olehkalangan istana disebut  dengan berbagai istilah yang berkonotasi rendah dari seni istana . beberapa diantaranya :ndeso, pesisiran, agal, tanpa aturan ngawur, barangan, dan sebagainya.
  6. Khusus untuk bidang  karawitan dan pedhalangan karena terbatasnya sarana danfasilitas (dana dan fisik ) yang tersedia di desa, namun karrena dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan masyarakat yangakan jasa kesenian masyarakat yang banyak dan beragam, maka para seniman di desa biasanya (terpaksa ) menjadi lebih mletik, kreatif.
  7. Gaya kesenian di Jawa Tengah adalah gaya Banyumasan. Sesuai dengan namanya, jenis kesenian ini hidup dan berkembang dengan baik di wilayah Banyumas – Propinsi Jawa Tengah bagian selatan yang berbatasan dengan Jawa Barat – terutama di kabupaten bayumas dan cilacap serta menyebar ke berbagai daerah disekitarnya, seperti daerah diKabupaten Purbalingga dan Banjarnegara.
  8. Di pesisir utara Jawa terdapat gaya karawitan yang daya sebarnya menjangkau wilayah yang kurang luas, namun cukup memiliki kualitas, kekuatan, dan perbendaharan musical yang cukup signifikan.Gaya losari, juga Tegal, dan Semarang nampaknya juga memiliki gaya karawitan jenis ini dan yang mandiri.
  9. Di daerah Kabupaten Blora, kemudian merembet ke timur sampai daerah Cepu dan Bojanegara, bahka Tuban, juga hidup berkembang gaya karawitan yang disebut Tayub Blora.
  10. Mirip dengan kasus Blora,daerah Sragen juga muncul, hidup, dan berkembang karawitwan Tayub dengan gaya yang berbeda dengan di Blora. Karawitan selain disebut dengan karawitan Sragenan – sesuai dengan nama wilayah daaerah asal dan/ atau tempat berkembangnya gaaaya karawitan ini  -- juga dikenal sebagai karawitan badhutan.
Perlu diketahui bahwa perkembangan akhir-akhir ini – yang dimulai sekitar menjelang tahun 80-an – terdapat pergeseran yang signifikan dalam kehidupan kesenian tradisi Jawa ( Tengah ), yaitu memudar atau tergesernya kesenian termasuk karawian dan pedhalangan, -- gaya baku atau gaya istana oleh gaya-gaya kesnian gaya luar kerton yang dulunya diangap sebagaigaya pinggiran/ pedesaan/ pesisiran yang dianggap inferieur atau dengan sebutan negatif lainya. Pergeseran ini terjadi dengan dilatar belankangi oleh berbagai bentuk persoalan yang kompleks.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem informasi, dan komunikasi yang pesat juga memiliki andil yang besar terhadap terjadinya pergeseran ini. Fenomena yang menonjol adalah juga pada kesadaran akan pemanfaatan ruang dan waktu yang semakin besar, tersedianya tempat penyelenggaran upacara atau hajatan yang menyelenggarakan kesenian yang semakin terbatas, ssedikit dan menciut, penggugatan pada nilai feodalstik, kebutuhan dan fungsi kesenian sebagai sarana hiburan maupun sebagai barang komoditas, politik kebudayaan yang  dan khususnya berhubungan dengan pariwisata serta kebijakan pemerintah dalam  bidang kebudayaan serta lintas budaya yang semakin intens serta “ keteladanan” para pejabat pemerintah atau pemuka masyarakat yang cenderung kurang begitu memperhatikan terhadap kehidupan kesenian dan sebagainya.

Perbedaan fisik
Sebenarnya perbedaan fisik bukanlah merupakan perbedaan yang esensial. Seperti contoh dengan menggunakan gamelan gaya Yogyakarta, pegrawit Surakarta  masih dapat menyajikan gendhing-gendhing gaya surakarta,demikian sebaliknya, walau tentunya ada beberapa hal yang dirasa kurang sreg atau sempurna apabila dibandingkan dengan ketika pengrawit Surakarta menyajikan gendhing-gendhing gaya Surakarta dengan menggunakan gamelan gaya Surakarta, demikian pula sebaliknya.
Bukan rahasia umum bahwa kedua daerah, solo dan jogya selalu bersaing bahkan bermusuhan dalam berbagai bidang, termasuk dalam kesenian. Namun hal tersebut sudah sangat tipis kadarnya. Kerjasama, pengaruh pengetahuan, saling meminjam dan menggunakan sudah sangat biasa di lakukan oleh banyak orang (seniman). Memang kedua daerah, dalam karawitan non-fisik, perbedaan yang paling gampang diidentifikasikan adalah pada:
            - Pola tabuhan kendhang.
- Pola tabuhan bonang
- Pola tabuhan balungan.

Gaya memang sangat relatif dan berkembang serta dapat berubah dengan cepat menuruti zaman dan kemauan masyarakat. munculnya seniman-seniman kreatif dan berkualitas berpeluang untuk melahirkan gaya-gaya karawitan baru. Dengan semakin intensnya pergaulan seni budaya antar daerah dan bangsa maka penggunaan dan perbedaan gaya juga menjadi semakin kabur.  Mereka saling mempengaruhi dan memperkaya, selain juga dapat sebaliknya,saling mematikan. Namun demikian makin membukannya sikap  pengrawit di berbagai tempat, penjelajahan gaya karawitan semakin menjadi sering bahkan selalu di lakukan, semacam ada seatu keharusan. Dengan demikian gaya menjadi tidak terlalu penting lagi dan tidak perlu dipermasalahkan lagi apalagi dipertentangkan.